Vonis Hukuman Mati Bagi Terpidana Tindak Pidana Korupsi

Sunday, December 26, 2010

Berikut ini adalah sebuah berita yang saya dapat dari detiknews.com


Koruptor Dinilai Sebagai Penjahat HAM, Layak Dihukum Mati

Jakarta - Hukuman mati dinilai layak diberikan bagi para koruptor. Alasannya, mereka adalah penjahat HAM yang merampok dan merampas hak-hak rakyat.

"Hukuman yang tepat bagi para koruptor adalah hukuman mati, coba kita lihat negara yang serius penanganan korupsinya pasti menerapkan hukuman mati. Sehingga peti mati layak sebagai hukuman," ujar pengamat tata negara Universitas Muslim Indonesia Makasar (UMI), Hendra Sudrajat kepada detikcom, Kamis (9/12/2010).

Hendra menambahkan kurang tepat jika disebut hukuman mati bagi koruptor melanggar HAM. Justru para koruptor itulah pelanggar HAM sebenarnya.

"Bilamana dikaitkan dalam HAM bagi saya tidak masalah, karena para koruptor telah
merampas hak-hak asasi dan dasar rakyat, justru koruptor adalah penjahat HAM karena telah merampok dan merampas hak-hak orang lain," tambah dia.

Menurut Hendra hari antikorupsi se-dunia ini harus dijadikan momentum untuk membersihkan mafia hukum di Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian. Penegakkan hukum tidak boleh seperti jaring laba-laba yang hanya menyentuh koruptor kelas teri, dan membiarkan koruptor besar menerobos dan merusak jaring tersebut.

"Ini perlu keseriusan institusi penegak hukum negara," tambah direktur advokasi pusat studi investasi politik ini.

Sumber:
Koruptor Dinilai Sebagai Penjahat HAM, Layak Dihukum Mati

Komentar:
Setelah membaca berita ini, hal pertama yang terbersit di pikiran saya adalah "Semuanya aja jadi kejahatan terhadap HAM. Lama-lama semua tindak pidana bisa digolongkan jadi kejahatan terhadap HAM."

Masih dapat saya ingat dengan jelas, bagaimana sebagian besar aktivis HAM (yang notabene memiliki latar belakang ilmu hukum) di Indonesia berteriak dengan lantang, bahwa diadilinya Nenek Minah karena mencuri 3 (tiga) buah kakao sebagai sebuah kejahatan terhadap HAM.

Benarkah opini tersebut? Mari kita kaji lebih jauh mengenai contoh di atas.
Indonesia sebagai sebuah negara yang menjunjung tinggi HAM telah menerbitkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu guna mengadili setiap kejahatan maupun pelanggaran terhadap HAM, dibentuklah sebuah Pengadilan Khusus sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.

Di dalam Pasal 17 UU HAM disebutkan:
“Setiap orang tanpa diskiriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.”

Dikaitkan dengan contoh kasus pencurian kakao oleh Nenek Minah, dimana Nenek Minah diadukan kepada pihak yang berwenang oleh pihak perusahaan perkebunan PT Rumpun Sari Antan (RSA) IV karena dianggap telah mengambil/memetik 3 (tiga) buah kakao milik PT RSA IV. Sehingga menjadi jelas bahwa tindakan Nenek Minah tersebut merupakan suatu tindak pidana pencurian sebagaimana diatur di dalam Pasal 362 KUHP. Adapun perkara tersebut telah diputus oleh Pengadilan Negeri Purwokerto dengan vonis kurungan selama 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 (tiga) bulan.

Masih relevankah pendapat yang menyatakan bahwa perkara Nenek Minah merupakan pelanggaran terhadap HAM? Tentu saja jawabannya adalah “TIDAK”, alasannya:


  1. tindakan yang dilakukan oleh Nenek Minah merupakan suatu tindak pidana murni, yaitu tindak pidana pencurian sebagaimana diatur di dalam Pasal 362 KUHP.
  2. pengaduan terhadap seseorang dalam perkara pidana merupakan sebuah HAM, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU HAM, sehingga tindakan dari PT RSA IV mengadukan Nenek Minah kepada pihak yang berwenang tidak melanggar HAM sama sekali, mengingat bahwa apa yang dilakukan oleh Nenek Minah telah melanggar hak kepemilikan dari PT RSA IV atas 3 (tiga) buah kakao tersebut.
  3. vonis dari Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto sudah tepat mengingat bahwa Nenek Minah telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian, tetapi mengingat bahwa Nenek Minah telah berusia lanjut, maka dijatuhkan hukuman pidana percobaan.

Bahkan salah seorang teman saya pernah berkata sebagai berikut,
“Apabila Nenek Minah divonis bebas maka hal tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan dalam penerapan hukum di negara kita karena tidak terdapat lagi kepastian hukum. Bagaimana jika seluruh penduduk di sekitar perkebunan tersebut datang dan mengambil 3 tiga buah kakao dengan alasan kemiskinan? Apakah mereka harus divonis bebas juga?”.

Oleh karena itu, jujur sampai dengan saat ini, saya masih tidak melihat adanya pelanggaran terhadap HAM dalam contoh kasus Nenek Minah tersebut.

Beralih kepada berita tersebut di atas, menurut saya, pernyataan dari saudara Hendra Sudrajat, pengamat tata negara Universitas Muslim Indonesia Makasar (UMI) adalah kurang tepat, mengingat hal yang menjadi topik dari pembahasan adalah mengenai apakah vonis hukuman mati melanggar HAM atau tidak.

Pada dasarnya saya berpendapat bahwa vonis hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi tidak melanggar HAM, karena di dalam Penjelasan Pasal 9 UU HAM dengan jelas dinyatakan bahwa:
“Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati. Maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi.”

Mari kita lihat pendapat dari seorang ahli hukum, Andi Hamzah dalam salah satu bukunya yang menyatakan bahwa:
“Pidana mati sangat dibutuhkan jika terpidana yang telah bersalah memperlihatkan bahwa ia adalah seorang mahkluk yang sangat berbahaya bagi masyarakat yang benar-benar harus dikeluarkan dari pergaulan hidup. Perdebatan panjang mengenai pemberlakuan pidana mati ini sebenarnya bertitik tolak pada permasalahan keadilan rasa kemanusiaan dan pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya kejahatan lagi. Alasan para pakar yang menentang adanya penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan adalah karena alasan kemanusiaan dan penjatuhan pidana mati tidak akan dapat mencegah kejahatan dan mengurangi angka kejahatan. Namun bagi mereka yang sepakat dengan pemberlakuan pidana mati di Indonesia adalah semata-mata karena rasa keadilan dan ketentraman yang ada di dalam masyarakat. Masyarakat menginginkan keadilan, dimana bagi seorang pembunuh sepantasnnya di bunuh pula. Ini terbukti dengan adanya idiom di dalam masyarakat yang mengatakan ‘Hutang budi dibayar budi dan hutang nyawa dibayar nyawa”.
Sumber: Mahasiswa (002)

Dengan kata lain, alasan yang menjadi dasar pemberlakuan vonis hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi bukan karena mereka telah melakukan kejahatan terhadap HAM, tetapi karena mereka telah melakukan suatu kejahatan yang dapat digolongkan ke dalam extra ordinary crime mengingat tindak pidana korupsi dilakukan secara sistematis dan terorganisasi dengan baik atau dengan kata lain merupakan white collar crime.

Kesimpulan:
1. Pendapat yang menyatakan bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan terhadap HAM tidaklah tepat, karena tindak pidana korupsi merupakan suatu tindak pidana khusus yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan tersendiri dan tidak masuk dalam HAM.
2. Vonis hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi tidaklah melanggar HAM, karena perlu adanya suatu upaya pemidanaan secara luar biasa terhadap para pelaku, mengingat pemidanaan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini sama sekali tidak mengurangi tingkat korupsi di negara kita.

NB:
Tulisan ini hanya sekedar untuk berbagi tanpa maksud untuk menghina atau mencela pihak-pihak tertentu.